Kerajaan Bali

Kerajaan Bali adalah salah satu bagian dari sejarah kehidupan pada masyarakat Bali secara menyeluruh.

Pemerintahan kerajaan ini juga kerap berganti beberapa kali, mengingat pada masa itu banyak terjadi pertikaian antar kerajaan yang merebutkan daerah kekuasaan.

Kemungkinan, pada awalnya Kerajaan Bali bernama Kerajaan Bedahulu yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit.

Namun setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Gelgel mengambil alih kerajaan dan dilanjutkan dengan kerajaan Klungkung.

Namun sayang, saat masa pemerintahan Kerajaan Klungkung banyak terjadi perpecahan yang mengakibatkan terpecahnya Kerajaan Klungkung menjadi delapan buah kerajaan kecil yang disebut sebagai swapraja.

Taman Ayun Temple

Meski tak banyak yang mengetahui mengenai sejarah Kerajaan Bali, namun yang pasti kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan pertama yang ada di wilayah Bali.

Kerajaan Bali sendiri berdiri di sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 dan berpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar.

Banyak cerita yang menyebutkan bahwa, konon katanya kerajaan ini dipimpin oleh salah suatu kelompok bangsawan dengan pimpinannya yang dikenal dengan nama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa.

 

Sejarah Singkat Kerajaan Bali

wilayah kekuasaan kerajaan bali

Melalu beberapa prasasti yang ditemukan, Kerajaan Bali ini  dipastikan berdiri oleh raja-raja dari Dinasti Warmadewa.

Raja yang paling terkenal di Kerajaan Bali adalah Dharmodhayana Warmadewa yang memerintah sejak tahun 989. Ia memimpin kerajaan bersama permaisurinya yang bernama Mahendradatha atau Gunapriyadharmaptani sampai tahun 1001.

Sang permaisuri wafat dan diabadikan dalam sebuah candi yang terletak di Desa Berusan tepatnya ada disebelah tenggara Bedulu. Adapun arcanya merupakan perwujudan dari Durga yang ditemukan di daerah Kutri (Gianyar).

Sang raja Dharmodhayana Warmadewa tetap memrintah kerajaan hingga tahun 1011 Masehi. Dan kemudian wafat  serta dicandikan di Banu Wka yang sampai sekarang keberadaannya belum diketahui.

Dalam perkawinan antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahirlah tiga orang putra. Ketiga putra tersebut bernama Airlangga, lalu menikah dengan seorang putri Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa, Marakata, dan Anak Wungsu.

Setelah ayahnya wafat, tahta kerajaan diturunkan kepada seorang pangeran bernama Marakata yang memiliki gelar Dharmodhyana Wangsawardhana Marakata Panjakasthana Uttunggadewa pada tahun 1011 hingga 1022.

Karena perhatiannya yang sangat besar terhadap rakyatnya, kehadiran beliau sangat dihormati di daerah kerajaan. Bahkan berkat sikapnya yang seperti itu, beliau kerap kali dianggap sebagai penjelmaan dari kebenaran hukum.

Sebagai bukti perhatiannya kepada rakyat kerajaan, beliau membangun sebuah tempat pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang letaknya berdekatan dengan Istana Tampak Siring.

Bangunan ini memiliki ciri yang unik yaitu pahatan yang berada di batu gunung berbentuk menyerupai candi serta bagian dasarnya terdapat gua pertapaan.

Hingga saat ini, bangunan pertapaan tersebut masih dilestarikan dengan baik dan menjadi salah satu objek wisata di Bali yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan.

Selepas Marakata wafat, tahta kerajaan diturunkan kepada putranya yang bernama Anak Wungsu sejak tahun 1049 hingga 1077.

Saat masa pemerinatahan Anak Wungsu, ia meninggalkan 28 buah prasasti yang merupakan prasasti terbanyak daripada raja-raja yang sempat memerintah sebelumnya.

Anak Wungsu sendiri tidak mempunyai keturunan. Ia wafat dan kemudian didharmakan di daerah Gunung Kawi.

Pada tahun 1430,  Kerajaan Bali saat itu dipimpin oleh Raja Dalem Bedaulu, dan kemudian kerajaan jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit.

Raja Raja Kerajaan Bali

sejarah singkat kerajaan bali

Raja yang sempat memerintah Kerjaan Bali diantaranya sebagai berikut:

1. Sri Kesari Warmadewi

Di dalam Prasasti Blanjong yang bertuliskan angka tahun 914 menyebutkan istana kerajaan berada di Singhadwalawa.

2. Ratu Sri Ugrasena

Sang Ratu Sri Ugrasena memerintah sejak tahun 915 hingga 942 dan istananya pada saat itu terletak di Singhamandawa.

Selama masa pemerintahannya, Ratu Sri Ugrasena meninggalkan 9 buah prasasti. Prasasti tersebut pada umumnya berisi mengenai pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu kekuasaan kerajaan.

Tak hanya itu, ada juga prasasti yang memberitakan menganai pembangunan tempat-tempat suci.

Wafatnya Sang Ratu Sri Ugrasena kemudian didharmakan di Air Mandatu.

3. Tabanendra Warmadewa

Tabanendra Warmadewa memrintaha kerajaan sejak tahun 955 hingga 967 masehi.

4. Jayasingha Warmadewa

Ada pro dan kontra mengenai Jayasingha Warmadewa menganai ia bukan merupakan salah dari keturunan Tabanendra sebab di tahun 960 M bersamaan dengan masa kepemimpinan Tabanendra, Jayasingha Warmadewa telah menjadi raja.

Mungkin, ia merupakan seorang putra mahkota yang telah diangkat menjadi raja sebelum ayahnya turun dari takhta.

Semasa pemerintahannya, ia membuat sebuat telaga atau pemandian dari sumber suci di Desa Manukraya.

Pemandian tersebut juga dikenal dengan Tirta Empul yang letaknya berada di dekat Tampaksiring.

Raja Jayasingha Warmadewa memimpin kerajaan hingga tahun 975 Masehi.

5. Jayashadu Warmadewa

Janasadhu Warmadewa memerintah kerajaan sejak tahun 975 hinga 983.

6. Sri Wijaya Mahadewi

Tak hanya lelaki saja, Kerajaan Bali juga sempat dipimpin oleh seorang perempuan bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi.

Menurut pendapat dari, ratu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun pendapat dari Damais juga menduga bahwa sang ratu merupakan putri dari Empu Sindok (Jawa Timur).

Hal tersebut didasarkan atas berbagai nama jabatan dalam Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang lazimnya telah disebut dalam prasasti di Jawa, namun tidak dikenal di Bali, seperti makudur, madihati, serta pangkaja.

7. Dharma Udayana Warmadewa

Pada saat pemeritahan Udayana-lah Kerajaan Bali mengalami puncak keyaan. Beliau memerintah kerajaan bersama sang permaisuri yang bernama Mahendradatta, yang merupakan putri dari seorang raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur.

Sebelum Udayana naik tahta, banyak yang menduga bahwa baliau berada di Jawa Timur karena namanya tercantum dalam Prasasti Jalatunda.

Perniakah antara Udayana dan Mahendradatta membawa pengaruh kebudayaan Jawa di Bali menjadi semakin berkembang.

Contohnya, bahasa dari Jawa Kuno mulai dipergunakan dalam penuliasan prasasti serta mulai melakukan pembentukan dewan penasihat seperti di pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa.

Udayana bersama permaisurinya memerintah hingga tahun 1001 M, sebab Gunapriya wafat dan kemudian didharmakan di Burwan.

Setelah itu, Udayana tetap memerintah kerjaan hingga tahun 1011 M, dan pada akhirnya beliau wafat dan kemudian dicandikan di Banuwka.

Hal tersebut tertera dalam sebuah prasasti Air Hwang (1011) yang menyebutkan nama Udayana. Selain itu, dalam prasasti Ujung (Hyang), Udayana setelah wafat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.

Dalam perkawinan Udayana dan Mahendradatta lahirlah tiga orang putra yang bernama Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.

Dari ketiga putranya, Airlangga tak pernah memerintah di Kerajaan Bali sebab menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur.

8. Marakata

Raja Marakata memiliki gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Ia memerintah sejak tahun 1011 hingga 1022.

Masa pemerintahan dari Marakata seezaman dengan Airlangga.

Oleh sebab itu, Stutterheim memiliki pendapat bahwa sebenarnya Marakata adalah Airlangga karena adanya persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya.

Terlebih lagi dilihat dari cara kepemimpinannya dan juga kepribadiannya yang banyak memiliki kesamaan.

Marakata semenjak memerintah dijuluki sebagai sumber kebenaran hukum karena selalu melindungi dan memperhatikan rakyat kerajaan.

Karena sikapnya yang sangat dermawan, Marakata sangat disegani dan dihormati oleh rakyatnya. Tak hanya itu, Marakata juga membangun sebuah candi atau persada  yang berada di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring, Bali.

9. Anak Wungsu

Anak Wungsu memiliki gelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka.

Beliau merupakan Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti berjumlah lebih dari 28 buah prasasti yang telah tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan.

Anak wungsu memerintah kerajaan selama 28 tahun sejak tahun 1049 hingga 1077. Anak Wungsu kerap dianggap sebagai jelmaan dari Dewa Wisnu.

Anak Wungsu sendiri tidak memiliki keturuan. Beliau wafat di tahun 1077 dan kemudian dimakamkan di daerah Gunung Kawi (dekat Tampaksiring).

10. Jaya Sakti

Jaya Sakti memimpin kerajaan sejak tahun 1133 hingga 1150 M sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di Kediri.

Dalam masa pemerintahannya, ia dibantu oleh penasihat pusat yang terdiri dari para senapati serta pimpinan keagamaan baik dari agama Hindu maupun Buddha.

Jaya Sakti menggunakan kitab Undang-Undang yang bernama kitab Utara Widdhi Balawan dan kitab Rajawacana.

11. Bedahulu

Pada tahun 1343 M, kerajaan dipimpin oleh Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Bedahulu dalam memimpin kerajaan dibantu oleh kedua patihnya yang bernama Kebo Iwa dan Pasunggrigis.

Bedahulu menjadi raja terakhir yang memimpin Kerajaan Bali, sebab pada masa pemerintahannya ia berhasil diditaklukkan oleh Gajah Mada serta wilayah kerajaan menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Kehidupan Politik Kerajaan Bali

Pada awal tahun 989 hingga 1011, Kerajaan Bali dipimpin oleh Udayana yang mempunyai tiga orang putra bernama Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu.

Kelak, Airlangga nantinya akan menjadi raja terbesar dari Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.

Menurut salah satu prasasti, Udayana menjalin hubungan baik dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur, hal terssebut tak lain karena permaisuri Udayana yang bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok.

Setelah wafat, tahta dari Udayana diteruskan oleh putranya yang bernama Marakata.

Pda saat pemerintahan Marakata, masyarakat menganggap bahwa sang raja merupakan sumber kebeneran hukum sebab sifatnya yang dermawan dan juga selalu melindungi rakyatanya.

Selama pemerintahan Marakata dibangunlah sebuah tempat peribadatan untuk masyarakat kerajaan yang berada di Gunung Kawi (Tampaksiring).

Setelah Marakata wafat, kepemimpinan kerajaan digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu. Anak Wungsu adalah raja terbesar yang berasal dari Dinasti Warmadewa.

Selama pemerintahan Anak Wungsu, beliau berhasil dalam hal menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar wilayah kerajaan.

Dalam pmerintahannya, Anak Wungsu juga dibantu oleh penasihat pusat yang dikenal dengan sebutan pakirankiran i jro makabehan.

Badan penasihat tersebut terdiri atas senapati dan pendeta Siwa serta Buddha. Bertugas untuk memberi tafsiran serta nasihat kepada sang raja dalam berbagai permasalahan yang muncul di kehidupan masyarakat.

Sedangkan senapati memiliki tugas dalam bidang kehakiman dan pemerintahan, lalu pendeta bertugas untuk mengurusi masalah sosial dan juga agama.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali

corak kerajaan bali

Kegiatan Ekonomi pada masa Kerajaan Bali mengandalkan sektor petanian. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena telah disebutkan dalam beberapa prasasti yang memuat berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan bercocok tanam.

Beberapa istilah seputar bercocok tanam yang digunakan yaitu sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan kasuwakan (irigasi).

Selain mengandalkan sektor pertanian, juga ditemukan kegiatan lain dari masyarakat Kerajaan Bali, diantaranya sebagai berikut:

Pande (Pandai = Perajin)

Masyarakat dengan golongan ini memiliki kepandaian dalam hal membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak.

Kerajinan yang dibuat biasanya berupa peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan juga senjata.

Undagi

Masyarakat undagi memiliki kepandaian dalam hal pahat, lukis, serta seni bangunan.

Pedagang

Masyarakat Kerajaan Bali juga mengandalkan sektor perdagangan. Di masa Bali Kuno, perdagangan dibagi atas pedagang laki-laki  yang disebut wanigrama serta pedagang perempuan yang disebut sebagai wanigrami.

Saat itu, mereka mampu melakukan kegiatan berdagang hingga antar pulau. Hal tersebut tertera dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Banwa Bharu.

Kehidupan Sosial-Budaya

Struktur kehidupan masyarakat yang berkembang dimasa Kerajaan Bali Kuno dilandaskan pada beberapa hal sebagai berikut:

Sistem Kesenian

Kesenian yang telah berkembang di wilayah kerajaan masyarakat Bali kuno telah dibedakan atas sistem kesenian keraton serta sistem kesenian rakyat.

Sistem Kasta (Caturwarna)

Sama halnya dengan kebudayaan Hindu yang ada di India, awalnya perkembangan agama Hindu di Kerajaan Bali sistem kehidupan masyarakatnya juga terbagi atas beberapa kasta.

Namun sedikit berbeda, untuk masyarakat yang berada di luar kasta itu disebut sebagai budak atau njaba.

Sistem Hak Waris

Pewaris dari harta benda dalam suatu keluarga dibedakan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam hal ini, anak laku-laki menerima warisan lebih banyak daripada anak perempuan.

Agama dan Kepercayaan

Seperti yang telah kita ketahui, masyarakat kerajaan bali sangat terbuka dalam hal menerima pengaruh dari luar, namun meski begitu mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyang mereka.

Oleh sebab itu, di Bali juga terdapat beberapa penganut seperti penganut agama Hindu, Buddha, serta kepercayaan animisme.

Masa Kejayaan Kerajaan Bali

Ubud

Pada masa pemerintaan Dharmodayana, Kerajaan Bali mengalami puncak kejayaan. Pada masa pemerintahan beliau, Kerajaan Bali mengalami puncak kejayaan dengan sitem pemerintahannya yang lebih jelas daripada sebelumnya.

Pada masa kepemimpinan Dharmodayana, kekuatan kerajaan juga diperkuat atas perkawinan antara Dharma Udayana dengan Mahendradata, putri dari seorang raja Makutawangsawardhana yang berasal dari Jawa Timur.

Hal tersebut pada akhirnya semakin memperkokoh kekuatan kedudukan kerajaan di antara Pulau Jawa dan juga Bali.

Penyebab Keruntuhan Kerajaan Bali

Kerajaan Bali runtuh akibat siasat yang dilakukan oleh patih Gajah Mada yang pada saat itu tengah menjalankan misinya untuk memperluas wilayah ekspansinya ke nusantara.

Baca juga: Kerajaan Kutai

Pada mulanya, Patih Gajah Mada mengajak raja dari Kerajaan Bali untuk berunding mengenai penyerahan wilayah kerajaan ke tangan majapahit. Oleh sebab itu, patih Kebo Iwa dikirim menuju Majapahit untuk melakuakan perdamaian.

Namun sesampainya disana, Kebo Iwa dibunuh tanpan sepengetahuan Kerajaan Bali, lalu Kerajaan Majapahit mengutus Patih Gajah Mada untuk berpura-pura mengajak berunding bersama.

Namun naas, Kerajaan Majapahit malah membunuh raja Gajah Waktra sehingga Kerajaan Bali pun berada di dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Peninggalan Kerajaan Bali

pendiri kerajaan bali

Terdapat beberapa peninggalan dari Kerajaan Bali yang hingga sekarang dapat kita jumpai, diantaranya sebagai berikut:

  1. Prasasti Blanjong
  2. Prasasti Panglapuan
  3. Prasasti Gunung Panulisan
  4. Prasasti-prasasti peninggalan Anak Wungsu
  5. Candi Padas di Gunung Kawi
  6. Pura Agung Besakih
  7. Candi Mengening
  8. Candi Wasan.

Nah, sekarang udah tahukan apa itu Kerajaan Bali? Sebagai warga Indonesia patutnya kita bangga akan banyaknya ragam cerita sejarah yang melengkapi nusantara.

Sehingga kita dapat terus melestarikannya dan ikut menjaga supaya generasi penerus bangsa juga dapat mengetaui keragaman nusantara.

Demikianlah ulasan mengenai Kerajaan Bali, semoga dapat membantu kegiatan belajar kalian ya.. Terima kasih telah berkunjung.

Photo of author

Ahmad

Pemuda yang senang belajar dan berbagi dengan sesama

Satu pemikiran pada “Kerajaan Bali”

Tinggalkan komentar